Oleh: Dr Anthony Budiawan
Berdasarkan PERPPU Korona, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No 54 tahun 2020 (APBNP-1 2020) pada 3 April 2020 dan Perpres No 72 tahun 2020 (APBNP-2) pada 24 Juni 2020 tentang perubahan postur dan rincian APBN tahun anggaran 2020.
Defisit anggaran naik dari Rp307 trriliun (APBN 2020) menjadi Rp1.039 triliun (APBN-2 2020) atau naik Rp732 triliun.
Namun, kenaikan defisit anggaran ini tidak membuat anggaran Belanja Negara naik signifikan, yaitu hanya naik Rp199 triliun saja, dari Rp2.540 triliun menjadi Rp2.739 triliun.
Dengan kata lain, kenaikan defisit anggaran pada APBNP 2020 lebih disebabkan oleh penurunan perkiraan Pendapatan Negara akibat penurunan ekonomi atau pemberian stimulus fiskal dan keringanan pajak kepada perusahaan atau perorangan.
Namun, anggaran Belanja Negara dalam APBNP-2 2020 naik Rp430 triliun kalau dibandingkan dengan realisasi 2019.
Idealnya, kenaikan defisit anggaran dan belanja negara tersebut digunakan pertama untuk mengendalikan pandemi dalam waktu singkat dan efektif karena pandemi ini merupakan sumber utama krisis kesehatan dan ekonomi.
Dan kedua unruk membantu keuangan masyarakat yang terkena dampak pandemi dan kehilangan sumber mata pencaharian.
Dengan bantuan keuangan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka diharapkan dapat mengikuti peraturan protokol kesehatan secara ketat demi memutus mata rantai penularan.
Tetapi, fakta yang terjadi jauh dari harapan. Pengendalian pandemi dapat dikatakan gagal.
Kurva kasus baru terinfeksi harian meningkat terus sejak Maret 2020 tanpa ada tren penurunan sama sekali, bahkan semakin mengkhawatirkan dengan positivity rate meningkat tajam mencapai lebih dari 30 persen pada pertengahan Januari 2021.
Pemberian bantuan keuangan kepada masyarakat juga sangat terlambat dan jumlahnya tidak memadai.
Akibatnya, masyarakat tidak patuh terhadap protokol kesehatan karena harus mencari uang untuk memenuhi kebutuhan belanja sehari-hari, yang pada gilirannya membuat pengendalian pandemi tidak efektif.
Kontroversi
Yang lebih memprihatinkan, pemerintah tidak tegas dalam upaya memutus rantai penularan dan terkesan lebih mementingkan ekonomi dari pada kesehatan.
Kontroversi mudik bergulir, dan puncaknya pesta pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak Desember 2020.
Positivity rate meningkat terus dan mencapai 20 persen lebih pada pertengahan Desember 2020 dan 30 persen lebih pada pertengahan Januari 2021.
Komentari tentang post ini