JAKARTA-Pandemi Covid-19 telah mengubah tren dan arah bisnis perekonomian di Indonesia, di mana perekonomian Indonesia menjadi berfokus akan sustainable finance serta ekonomi hijau.
“Indonesia tentunya merupakan pasar yang menarik bagi investor dikarenakan demografinya, sumber daya alam, dan populasi umur produktif yang tinggi. Indonesia juga mampu mendapatkan keuntungan dari perbaikan ekonomi global, terutama kebutuhan akan sumber daya alam yang tinggi,” ujar Presiden Direktur PT Bank DBS Indonesia, Paulus Sutisna dalam acara Bank DBS Indonesia melalui Asian Insights Conference 2021 mengangkat tema ‘Reimagining the Future of Indonesia’, yang salah satunya membahas tentang sustainability.
Kegiatan ini menghadirkan Analis Eksekutif Senior Departemen Internasional Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ahmad Rifqi, Chief Sustainability Officer Bank DBS, Mikkel Larsen dan Kepala Studi Lingkungan, LPEM FEB UI, Dr. Alin Halimatussadiah.
Lebih lanjut, pakar kesehatan yang juga mantan Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim mengatakan bahwa investasi saat ini, terutama di bidang kesehatan, merupakan saat yang tepat untuk mempercepat pemulihan perekonomian.
“Melihat kondisi Indonesia yang mengalami kenaikan kasus Covid-19 di bulan Januari dan mengalami penurunan saat ini, tentunya menjadi sebuah peluang bagi Indonesia untuk mempercepat vaksinasi agar penyebaran virus menjadi terkontrol,” ujar Kim.
Kendati demikian, diperlukannya juga perencanaan ekonomi secara jangka panjang di tengah vaksinasi ini.
“Walaupun Indonesia belum sepenuhnya dapat keluar dari ekonomi berbasis sumber daya alam, namun alangkah baiknya kita sudah dapat memulai memikirkan, merencanakan, dan melakukan transisi hingga pengembangan atas agenda keberlanjutan untuk masa depan Indonesia,” ujar Presiden Direktur PT Bank DBS Indonesia, Paulus Sutisna.
Dari sisi pemerintah, Ahmad Rifqi mengatakan OJK sebagai regulator mendukung sepenuhnya sektor jasa keuangan yang menggabungkan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola dengan industri keuangan.
Namun hal ini masih belum bisa terlaksana dengan mulus.
Mengubah pola pikir para pelaku industri untuk menjalankan ekonomi berkelanjutan ternyata tidak semudah itu.
Tantangan yang paling dirasakan dalam mengembangkan ekonomi berkelanjutan adalah awareness yang rendah dari para pelaku industri.
Selain itu, belum adanya standarisasi yang jelas untuk para pelakunya.
Ditambah dengan masih sedikitnya peluang bisnis yang bisa diraih oleh para pemainnya.
“Berbagai respon cukup bagus, juga dari dunia internasional mendapat sambutan yang positif. Evaluasi masih ada yang harus disempurnakan. Untuk itu kami tetap berharap sektor sektor jasa keuangan berupaya mengadaptasi keuangan berkelanjutan dengan tetap memperhatikan risiko dari perubahan iklim,” sambung Ahmad Rifqi.
Terkait pelaksanaan perekonomian hijau, pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan di tahun 2014.
Kerangka tersebut berfokus akan keuangan berkelanjutan yang ingin dicapai oleh Indonesia dalam jangka pendek, menengah, dan panjang melalui OJK.
Selain itu, kerangka tersebut dapat menjadi acuan bagi lembaga keuangan untuk berperan aktif dan berkontribusi positif dalam proses pembangunan yang berkelanjutan.
Komitmen pemerintah untuk menciptakan perekonomian yang berkelanjutan semakin kuat dengan dikeluarkannya Peraturan OJK (POJK) No.60/POJK.04/2017 tentang penerbitan dan persyaratan efek bersifat utang berwawasan lingkungan (green bond).
Setidaknya sudah ada dua roadmap yang sedang dijalankan saat ini, di mana roadmap tahap kedua baru diresmikan pada awal Januari tahun ini oleh presiden.
Regulator setidaknya sudah menyiapkan beberapa sub ekosistem pada roadmap tahap kedua ini yang akan dijalankan sampai 2025.
“Kami sudah menyiapkan regulasi produk, market infrastructure, kemudian koordinasi antara kementerian dan lembaga. Sektor yang menjadi arah OJK juga mengikuti sektor yang sudah menjadi prioritas oleh pemerintah,” tambah Ahmad Rifqi.
Melengkapi pernyataan OJK tersebut, Alin Halimatussadiah, mengatakan kondisi pandemi seperti yang terjadi sekarang justru membuat regulator dan para pelaku industri semakin gencar untuk melakukan transisi ke ekonomi berkelanjutan.
Beberapa negara sudah memulai untuk menjalankan ekonomi hijau, seperti Korea Selatan dan Uni Eropa.
“Kita harus mengarah ke pathway yang lebih green dan sustain. Bukan hanya untuk mendapatkan manfaat lingkungan tapi juga ekonomi yang nantinya bisa menurunkan poverty di Indonesia,” kata Alin.
Menurutnya, langkah green recovery ini akan memberikan keuntungan yang berlipat ganda.
Untuk itu, setiap pelaku harus lebih jeli melihat sektor apa saja yang bisa dikembangkan termasuk juga dengan caranya.
Tentunya ini harus dilakukan dengan studi yang lebih komprehensif.
Alin menjelaskan, beberapa sektor yang bisa disasar untuk green recovery ini adalah renewable energy, pertanian, perhutanan, dan perikanan.
Sektor tersebut banyak digeluti oleh masyarakat miskin, ketika sektor tersebut bisa lebih berkembang, maka nilai tambah yang diangkat akan lebih besar.
Lebih lanjut, Ahmad Rifqi juga menambahkan bahwa pemerintah telah menyusun green taxonomy sebagai acuan dan kriteria bagi pihak di jasa finansial untuk mendukung ekonomi hijau di Indonesia.
Kendati demikian, Chief Sustainability Officer Bank DBS, Mikkel Larsen mengatakan bahwa dalam pelaksanaan green taxonomy, setiap bank harus memiliki sistem yang menunjang perekonomian hijau agar pelaksanaannya dapat diterapkan secara jangka panjang.
“Penerapan sustainable finance di perbankan harus memiliki rencana yang matang dari lembaga perbankan. Untuk itu, diperlukannya rencana kerangka taksonomi keuangan hijau dari setiap perbankan serta tidak terburu-buru dalam mengeksekusi kerangka tersebut,” ujarnya.
Sebagai lembaga keuangan yang kian mendukung agenda pemerintah Indonesia dalam menciptakan perekonomian berkelanjutan, Bank DBS Indonesia sadar bahwa krisis perubahan iklim terus terjadi jika lembaga keuangan tidak ambil bagian dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan dan sosial.
Untuk itu, Bank DBS Indonesia telah mengimplementasikan sustainability dalam praktik bisnisnya sejak tahun 2014.
Beberapa upaya yang telah dilakukan oleh Bank DBS Indonesia salah satunya dengan menjalankan Taksonomi Transisi.
Bank DBS juga telah memperkenalkan Kerangka Kerja dan Skema (Taksonomi) Keuangan Berkelanjutan beserta transisinya yang merupakan kerangka keuangan berkelanjutan pertama di dunia.
Taksonomi ini dimaksudkan sebagai acuan untuk memandu nasabah korporasi beradaptasi dan membangun ketahanan dalam menghadapi perubahan iklim, kelangkaan sumber daya, dan mengatasi masalah krisis global seperti kesenjangan sosial.
“Saat ini, Bank DBS sedang bertransisi untuk menjadi lembaga keuangan yang menerapkan keuangan berkelanjutan. Dalam pengimplementasinya, Bank DBS telah menerapkan Kerangka Kerja dan Skema Keuangan Taksonomi di seluruh pasar DBS. Melalui pelaksanaan tersebut, Bank DBS telah menunjukkan dukungan kepada agenda pemerintah, khususnya pemerintah Indonesia dalam merealisasikan pengurangan emisi gas rumah kaca serta perubahan iklim,” tutur Chief Sustainability Officer Bank DBS, Mikkel Larsen.
Sebagai bank yang digerakkan oleh tujuan berkesinambungan, Bank DBS Indonesia melalui DBS Asian Insights Conference 2021 memperkuat komitmen Bank DBS Indonesia untuk membantu pemerintah dalam mengimplementasikan sustainable finance dan perekonomian hijau dengan menghadirkan panelis yang aktif menyuarakan ekonomi hijau.
Komentari tentang post ini