Dia membenarkan konsensus itu ada pada Pemilu dan direpresentasikan oleh presiden dan DPR RI, tapi faktanya tidak jalan. Kedua institusi itu tidak menjalankan fungsi sebagaimana seharusnya.
“Presiden dinilai sebagai pengamat, dan DPR tidak membuat aturan perundang-undangan, pengawasan dan anggaran yang pro rakyat. Untuk itu perlu konsensus. Kalau tidak, kesenjangan dan kemiskinan tak akan terserselesaikan. Mengapa? Karena pemilunya masih demokrasi prosedural, money politics, transaksional, dan belum demokrasi subatansial,” tutur Hajrijanto.
Menurut Arif Budimanto, konsensus itu justru tidak diperlukan karena sudah ada dengan apa yang dinamakan Pemilu.
Di mana Presiden dan DPR RI dipilih langsung oleh rakyat. Tapi, faktanya sekarang ini negara ibarat kapal laut yang berlayar tanpa nahkoda, karena pemimpinnya membuat jarak dengan rakyat.
Sehingga menjadi problem bagi rakyatnya sendiri.
“Jadi Presiden sebagai institusi negara yang harus membangun konsensus tersebut. Persoalannya, negara melakukan pengkerdilan terhadap rakyat melalui APBN. APBN yang tidak pro rakyat, tak menciptakan kesejahteraan dan keadilan. Pengkerdilan inilah yang menjadi bagian dari problem negara,” ujarnya.