Contoh kreativitas ASN dalam melakasanakan tugasnya, sekalipun SKB ini diterbitkan, baru-baru ini Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakrullah meluncurkan Anjungan Dukcapil Mandiri (ADM), bahwa masyarakat bisa cetak sendiri KTP, KK, hingga Akta Kelahiran.
Dengan hasil kreativitas ini, bisa menekan sekecil mungkin atau dapat meniadakan pungutan liar (pungli) yang terkait dengan pelayanan identitas kewarganegaan bagi seluruh anggota masyarakat yang datang ke ADM tersebut.
Inilah contoh kreativitas ASN yang profesional dan sekaligus melakukan fungsi pendidikan bagi masyarakat dalam melaksanakan tugasnya.
Kemudian dari sudut kritis, misalnya, dengan SKB ini justru setiap ASN dalam suatu instansi pemerintah menjadi lebih kritis.
Misalnya, sesama anggota ASN dapat menilai secara kritis perilaku ASN yang lain membentuk kelompok eksklusif.
Mereka yang homogen dari sudut kepercayaan tertentu yang militan membentuk in-group tersendiri.
Sementara ASN yang lain, sebagai out-group mereka.
Padahal, salah satu fungsi sosial ASN adalah perekat bangsa, menjungjung tinggi keberagaman, perilaku pluralis, mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam bangunan rumah bersama bernama NKRI.
Bila terjadi in-group – out-group, dipastikan menimbulkan polarisasi di instansi pemerintah yang bersangkutan.
Efek lanjutannya, jika suatu in-group yang “menguasai medan” kementerian, misalnya, anggota dari in-group itulah yang ditempatkan di posisi strategis dan jabatan “basah”.
ASN yang lain tinggal gigit jari, hanya bisa pasrah melihat perilaku eksklusivitas dari sekelompok ASN tersebut.
Secara “hipotesis”, menurut saya, bisa saja perilaku eksklusivitas ini sedang terjadi di instansi pemerintah.
Bisa juga belum atau tidak ada sama sekali.
Atau, dengan SKB ini, boleh jadi kelompok eksklusif miltan sendang “mengistirahatkan” atau “membaurkan” diri kepada sosok pemimpin atau kelompok inklusif yang ada di kementerian untuk mengaburkan perilaku komunikasi radikal selama ini.
Sebagai data awal, bisa saja dengan melihat jejak digital yang dimiliki selama ini. Tentu, ini baru “hipotesis”, ya.
Untuk itu, saya menyarankan kepada kementerian, misalnya Kementerian Dalam Negeri bekerja sama dengan salah satu perguruan tinggi melakukan penelitian di Kementerian Dalam Negeri sendiri, menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi untuk menguji “hipotesis” tersebut. Mudah-mudahan.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga EmruCorner di Jakarta
Komentari tentang post ini