Selama mendekam di balik jeruji, Pak Sorbatua mengukir banyak cerita-cerita pahit yang penuh penderitaan, namun terselip juga tawa dan kebanggaan.
Bukan sebagai seorang kriminal, melainkan sebagai tahanan “politik” yang dikriminalisasi oleh sistem.
Baginya, penjara bukanlah aib, tetapi lambang perjuangan. “Jangan pernah malu ditahan, jika kita berjuang untuk tanah adat dan lingkungan kita,” itulah pesan yang selalu ia tanamkan.
Hari-harinya di penjara dihabiskan dengan menulis. Lima buku tulis yang ia bawa menjadi saksi bisu perjuangan dan kemarahan yang dituangkan dalam kata-kata.
Menulis adalah caranya bertahan, membunuh rasa sepi yang menghantui, sekaligus meluapkan amarah terhadap ketidakadilan yang terus mendera. “Saat menulis, saya selalu menangis,” kenangnya lirih.
Tidak hanya melalui tulisan, kemarahannya juga ia tuangkan dalam menciptakan lagu.
Sayangnya, lirik-lirik yang ia ciptakan selalu terhenti di tengah jalan, karena setiap kali ia mencoba menyelesaikannya, tangisannya tak tertahankan. Isak tangis itu terlalu berat, terlalu dalam, hingga kata-kata tak mampu lagi keluar.
Komentari tentang post ini