TANGERANG-Ketokohan Raja Mataram Sultan Agung (1613 – 1645) sebagai pahlawan yang memerangi penjajahan Belanda di Tanah Jawa, tidak bisa dilepaskan dari peringatan 1 Suro, yang senantiasa bertepatan dengan datangnya Tahun Baru Islam 1 Muharram. Selain dikenal sebagai nasionalis dan antikolonialisme, Sultan Agung juga dikenal sebagai penguasa yang mengerti kehidupan pluralisme. Oleh karena itu, dalam semangat kebangsaan, peringatan datangnya 1 Suro itu tidak bisa dilepaskan dari laku instrospeksi bagi para pemimpin bangsa untuk mengikuti jejak Sultan Agung dalam memerangi ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan sekaligus bertanggung jawab atas tugas mengabdi pada bangsa dan negara.
Demikian dijelaskan Pengasuh Padepokan Kebangsaan Karang Tumaritis, Bojong Nangka, Kelapa Dua, Tangerang, Ananta Wahanda, dalam malam permenungan 1 Suro, Selasa (4/11).
Dijelaskan lebih lanjut, Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro di mana bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender hijriyah, karena Kalender jawa yang diterbitkan Sultan Agung mengacu penanggalan Hijriyah (Islam). Dalam tradisi Jawa, Suro dianggap sebagai saat yang paling tepat untuk mengadakan introspeksi diri dalam setahun perjalanan hidup. Introspeksi itu dilakukan dengan menjalankan “laku” seperti tidak tidur semalam, mengadakan tirakatan puasa ataupun tidak bicara (tapa bisu).