Selain itu, kata dia, persoalan mendasar tentang gula rafinasi ini tidak pernah terselesaikan dengan baik.
“Ketika volume impor meningkat, gula rafinasi yang diperuntukkan untuk industri makanan dan minuman pada kenyataannya justru merembes ke pasaran,” tegasnya.
Merembes, lanjut Wachid, karena impor tanpa perhitungan yang cermat alias ugal-ugalan.
“Impor harusnya disesuaikan dengan kebutuhan industri mamin secara tepat donk bukan disesuaikan dengan kepentingan tertentu,” tandas dia.
Diketahui, Indonesia dan Australia meneken kerja sama perdagangan bebas.
Dengan adanya penandatanganan tersebut, tarif impor gula rafinasi atau gula untuk industri turun dari sebelumnya di kisaran 10% menjadi 5%. ***
Komentari tentang post ini