Dia menambahkan, “Kemudian karena tugas di KPK seperti itu, maka saya tidak perhatikan, saya jalan terus. Tapi kan akhirnya dilakukan revisi undang-undang. Intinya kan revisi undang-undang itu SP3 menjadi ada, kemudian (KPK) di bawah presiden.”
“Mungkin pada waktu itu presiden merasa bahwa ini Ketua KPK diperintah presiden kok nggak mau. Mungkin begitu,” imbuhnya.
Menurut Agus, revisi UU KPK berawal dari kemarahan Presiden Jokowi pada pengusutan kasus E-KTP.
Dan, penggiringan opini untuk merevisi UU KPK itu dilakukan menggunakan tangan-tangan buzzer.
“Anda juga perlu pahami, buzzer itu bukan main memainkan ini. KPK itu dikatakan sarang Taliban. Sehingga, civil society yang menentang revisi UU KPK itu sangat-sangat sedikit,” paparnya lagi.
Dia meneruskan, “Teman-teman saya seperti Pak Imam Prasodjo tidak datang waktu itu karena mereka merasa ini KPK sudah seperti Taliban.
Seolah-olah omongannya buzzer itu betul.
Revisi UU KPK kemudian terjadi. Anda kemudian melihat, di periode kedua ini kan yang nama Corruption Perception Index itu kan turun terus menerus.”
Komentari tentang post ini