Oleh: MH. Said Abdullah
Semenjak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2001,desentralisasi fiskal di Indonesia telah memasuki usia dua dasawarsa atau kurang lebih dua puluh tahun pelaksanaanya. Merujuk kepada semangat yang terdapat dalam desentralisasi fiskal, seharusnya daerah sudah bisa menikmati hasil pembangunan yang bersumber dari kekayaan yang dimiliki, berkurangnya ketimpangan dan terwujudnya kemandirian ekonomi dimasing-masing daerah.
Alokasi anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), selalu meningkat secara signifikan dari tahun ketahun.Dalam Nota Keuangan dan APBN tahun 2001, alokasi dana perimbangan dianggarkan sebesar Rp82,4 triliun. Dua puluh tahun kemudian, tepatnya dalam APBN 2020 alokasi anggaran TKDD telah mencapai Rp856,9 triliun. TKDD tersebut terdiri dari Transfer ke Daerah sebesar Rp784,9 triliun dan Dana Desa sebesar Rp72 triliun.Dalam kurun waktu dua puluh tahun telah meningkat hampir 1000 persen.
Tidak hanya dari sisi jumlah, instrumen penyusun TKDD juga berkembang, lahirnya Dana Desa (DD) semenjak tahun 2015. Kemudian munculnya Dana Insentif Daerah (DID) yang terpisah dari Dana Perimbangan. Dana otonomi khusus buat Provinsi Aceh, Papua dan Papua Barat serta Dana Keistimewaan Yogyakarta. Begitupula item yang terdapat dalam Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik, juga berkembang mencakup banyak aspek, mulai dari DAK reguler, penugasan dan afirmasi.
Dalam kenyataannya TKDD belum bisa memberikan pengaruh yang luas bagi pembangunan daerah.TKDD lebih banyak diperuntukkan untuk membantu belanja pegawai dan operasional daerah. Alokasi DAU pada tahun 2020 mencapai Rp 427,1 triliun atau sebesar 54,4 persen dari anggaran transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp 784,9 triliun. Sedangkan, DAK fisik dan non fisik sebesar Rp 202,5 triliun atau sekitar 25,7 persen dari TKD. Artinya sebagian besar TKD habis dibelanjakan untuk belanja pegawai.
Selaras dengan data dari Kementerian Keuangan, porsi belanja pegawai dalam APBD bisa mencapai 36 persen, lalu anggaran untuk belanja barang serta perjalanan dinas sebesar 13,4 persen, sedangkan untuk belanja jasa perkantoran mencapai 17,5 persen dari total anggaran daerah. Praktis, 75 persen alokasi dana APBD, habis diperuntukkan untuk membayar belanja gaji dan operasional pegawai, sehingga alokasi untuk pembangunan daerah menjadi tidak optimal.
Melihat perkembangan TKDD dari tahun ke tahun, belum banyak memberikan multiplier effect bagi pembangunan daerah. Merujuk pada data Bappenas, menunjukkan bahwa angka ketimpangan antar wilayah masih sangat tinggi. Kemiskinan di kawasan timur Indonesia sebesar 18,01 persen, kawasan barat Indonesia sebesar 10,33 persen. Adapun kemiskinan di perkotaan sebesar 7,02 persen. Sementara ketimpangan pendapatan perdesaan 0,324 dan perkotaan 0,400.Data tersebut menunjukkan bahwa, ketimpangan ekonomi masih menjadi tantangan bagi Pemerintah untuk segera diselesaikan.
Komentari tentang post ini