Oleh: Bambang Soesatyo
BELUM lagi Januari 2014 genap 31 hari, sudah tiga blunder dilakukan pemerintah. Sungguh tak elok karena kecerobohan itu lebih mempertontonkan perilaku tidak berani bertanggungjawab. Dalam konteks manajemen, pemerintahan ini bahkan tampak semakin tidak kapabel karena perilakunya cenderung oportunis.
Bukan mengada-ada untuk mengatakan efektivitas dan kapabilitas pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhir-akhir ini anjlok menuju titik terendah. Terbaru, incapability pemerintahan SBY itu tercermin dari tiga persoalan yang kemudian berubah menjadi blunder. Mulai dari kisruh ‘kebijakan oportunis’ naik-turun harga gas elpiji 12 kilogram, berlanjut ke kisruh gagasan alokasi dana hampir Rp 700 miliar untuk membayar saksi Parpol pada Pemilu 2014, dan persoalan terkini mengenai misteri lolosnya beras premium yang diimpor dari Vietnam.
Barangkali, keputusan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mundur dari jabatannya boleh dilihat sebagai blunder keempat. Soalnya, dia mundur ketika impor beras premium dari Vietnam itu masih menjadi misteri. Masalah ini dia tinggalkan begitu saja demi kepentinganya mengikuti konvensi Partai Demokrat yang sedang menjaring calon presiden. Ironis.
Pantaskah Gita mengikuti kompetisi itu? Tidak! Dia bukan tipikal pemimpin yang berani bertanggungjawab. Berarti, tipikal ini bukan solusi yang menjadi dambaan segenap elemen rakyat. Bayangkan, kalau dalam kapasitasnya sebagai Menteri Gita tega-teganya mewariskan misteri beras impor itu, dia pasti tidak akan segan-segan pula berperilaku semau gue jika kapasitas kekuasaan kepresidenan berada dalam genggamannya.
Kembali pada tiga blunder Januari 2014 ini; tidak jelas benar apa yang menjadi sebab. Tetapi, menjelang akhir masa bhakti pada Oktober 2014 nanti, Kabinet Indonesia Bersatu-II tampak begitu kedodoran. Kabinet kehilangan koordinasi. Tepatnya tidak terkoordinir. Ada pemimpin tetapi tidak menggunakan kapablitasnya sebagai pemimpin kabinet untuk mengkoordinir para menteri. Pemerintah seperti kehilangan nyali memerintah. Selalu takut menerima respons negatif atau kritik publik.
Paling menyedihkan adalah perilaku tidak berani bertanggungjawab. Begitu muncul persoalan yang dipertanyakan atau dikritik publik, para menteri tak jarang saling menyalahkan, atau lari dari masalah, dengan melempar persoalan kepada koleganya atau pihak lain. Kalau pemerintah terpojok, akan dirancang skenario penyelesaian masalah dengan drama yang, maaf, memuakan. Coba simak lagi penyelesaian masalah ‘kebijakan oportunis’naik-turun harga gas elpiji 12 kilogram itu. Begitu pemerintah tersudut, seorang menteri memaksakan diri tampil menyelamatkan citra kabinet dengan klaimnya “Semua itu salah saya.”
Komentari tentang post ini