Komitmen itu dirumuskan setelah mendengar paparan dari Dini Pramita, aktivis Jaringan Advokasi Tambang yang memberi gambaran tentang persoalan lingkungan di Indonesia saat ini, terutama dalam kaitan dengan industri eksraktif dan Ahmad Maulana, aktivis sosial yang menangani komunitas marginal di bantaran Sungai Ciliwung Jakarta tentang krisis ekologi di ibukota.
Dini memberi catatan soal pola-pola pemiskinan lewat implementasi proyek-proyek ekstraktif di Indonesia, yang memicu perampasan lahan warga setempat sehingga “membuat masyarakat jatuh miskin dan dipaksa hidup berdampingan dengan bencana,” seperti yang terjadi di wilayah Kalimantan, Maluku dan wilayah lainnya.
Ironisnya, kata dia, hal seperti itu dilakukan “atas nama pembangunan berkelanjutan, transisi energi, transisi bersih, dan transisi berkeadilan.”
Ia berkata, sematan embel-embel hijau dan bersih “hanya upaya untuk melanggengkan sistem ekonomi kapitalistik yang lagi-lagi bertumpu pada ekstrativisme.”
“Transisi semu ini hanya mengganti penggunaan energi fosil ke energi fosil terbarukan, dengan daya rusak yang sama,” katanya.
Sementara Ahmad Maulana berkisah tentang lingkungan Jakarta yang “semakin hari tidak ramah lagi.”
“Tempat bermain dan ruang terbuka hijau menjadi sebuah hal yang mahal untuk anak-anak kita di Jakarta,” katanya.