Dia menambahkan, persoalan lain yang dihadapi PLN dalam melakukan percepatan proyek pembangunan tol listrik juga diakibatkan oleh rendahnya partisipasi publik, terutama mengenai pembebasan lahan.
“Penolakan banyak dilakukan masyarakat, tetapi PLN harus tetap jalan, karena kaitannya dengan prinsip cost and benefit,” imbuhnya.
Namun demikian, jelas dia, saat ini akar permasalahannya ada pada sikap pemerintah dalam memanfaatkan keberadaan Omnibus Law untuk mengambil alih kewenangan di tingkat pemerintah daerah.
“Jadi, akar persoalan di infrastruktur listrik, yaitu kebijakan pemerintah mau dijalankan atau tidak?” kata Trubus.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, tol listrik merupakan bagian dari proyek percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan yang terdiri atas pembangkit 35 GW dan transmisi 46 ribu kms.
Selain itu, termasuk pengembangan transmisi Sistem Sumatera 775 kv, Grid Borneo 150 kv dan Sistem Sulawesi bertegangan 495 kv.
“Tol listrik diharapkan bisa mengevakuasi daya dari pembangkit-pembangkit ke pusat beban, mengoptimalisasi bauran energi primer dan operasi pembangkit. Sehingga, diharapkan memberi dampak penghematan biaya operasi PLN,” kata Fabby.
Komentari tentang post ini