JAKARTA – Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menilai 8 Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berwasasan sebagai negarawan serta tidak memiliki nyali untuk berkata tidak pada sesuatu yang bersifat melanggar hukum.
Hal ini terbukti dari sikap mereka yang membiarkan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh mantan Ketua MK, Anwar Usman tanpa ada koreksi apapun dari dari pada 8 orang hakim di MK.
“Ini adalah sikap tidak berdaya 8 Hakim Konstitusi menghadapi hegomoni kekuasaan Nepotisme yang sudah terlalu dalam mengakar di MK bahkan ikut merusak mental 8 Hakim Konstitusi terutama runtuhnya sikap kenegarawanannya, runtuh moralitas, netralitas dan terbelenggu nalar akibat Nepotisme,” ujar Koordinator TPDI, Petrus Selestinus di Jakarta, Senin (22/4).
Sebelumnya, Juru Bicara MK Fajar Laksono membenarkan kabar bahwa Anwar Usman, masih menggunakan beberapa fasilitas Ketua MK,” seperti Mobil Dinas, Ruang Kerja Ketua MK, Rumah Dinas Ketua MK.
Menurut Petrus, sikap paman Usman ini jelas merusak tata cara Keprotokoleran Pejabat Tinggi Negara di MK dan di tempat-tempat lain sebagai penghormatan terhadap kedudukan Pejabat Negara yang meliputi Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan sebagai bentuk penghormatan kepada sesorang sesuai dengan jabatan, kedudukannya dalam negara, pemerintahan atau masyarakat.
arena itu terangnya, Pembentuk UU merasa perlu mengatur persoalan Keprotokoleran Indonesia dengan UU yaitu UU No.9 Tahun 2010 Tentang Keprotokoleran dan PP No. 56 Tahun 2019 Tentang Pelaksanaan UU No. 9 Tahun 2010, sebagai wujud Etika Bernegara dan Berbangsa dan memelihara kebiasaan Internasional dan nasional dalam memberi penghormatan kepada Pejabat Negara di manapun termasuk dilingkungan MK.
“Sebagai Lembaga Tinggi Negara di bidang Kekuasaan Kehakiman, maka MK tunduk dan terikat kepada UUD 1945 dan kepada UU No.9 Tahun 3010 Tentang Keprotokoleran, termasuk wajib menjaga marwah Ketua MK selaku Pimpinan tertinggi pada Lembaga Tinggi Negara di MK,” ujarnya.
Dengan demikian janji Kepala Biro Humas MK bahwa Pimpinan MK akan segera menyelesaikan penataan fasilitas Ketua MK, dari Anwar Usman ke Suhartoyo setelah MK tuntas melaksanakan persidangan perselisihan hasil pemilihan umum atau PHPU 2024, merupakan kebijakan yang bertentangan dengan UU.
Petrus menilai para hakim konstitusi ini masih menghamba kepada Kekuasaan Eksekutif, bahkan monoloyalitas kepada kekuasaan Ekeslutif sudah merambah ke MK.
Hal sangat disayangkan. Apalagi tanggal 22 April 2024 ini, mereka akan melahirkan Peristiwa Hukum yang sangat penting bagi Rakyat Indonesia.
“Dan peristiwa hukum yang menentukan bagi kedaulatan berada di tangan rakyat yang laksanakan dengan Luber dan Jurdil sesuai UUD 45,” jelasnya.
Karena itu 8 Hakim Konstitusi yang akan menentukan nasib bangsa inike depan sesuai harapan rakyat, maka diperlukan kondisi Hakim Konstitusi yang dalam keadaan merdeka dan bebas dari segala pengaruh apapun juga.
Namun jika 8 Hakim Konstitusi ini masih dalam cengkraman Nepotisme sehingga kebebasan dan kemerdekaannya terganggu, maka lebih baik jangan putus dulu Perkara Perselisihan Hasil Pilpres atau sebelummembuka persidangan 8 Hakim MK harus mendeclare dan menjamin bahwa mereka benar-benar dalam keadaan bebas secara lahir dan bathin.
“Jika mereka masih ayam sayur, tertekan dan terdegradasi atau runtuh kenegarawanannya, sehingga tidak tunduk pada Konstitusi lagi, maka Negeri ini sedang mengalami celaka 13 di tangan 8 Hakim Konstitusi dan karena itu Tunda Putus Sengketa Pilpres, karena langit tidak akan runtuh besok dan NKRI tidak akan bubar besok jika MK masih belum merdeka dalam memutus perkara Sengketa Pilpres 2024,” pungkasnya.
Komentari tentang post ini