JAKARTA – Kedaulatan rakyat dalam era demokrasi sudah seharusnya menjadi milik rakyat sepenuhnya, mengingat pemilihan pemimpin negara atau pemimpin daerah sudah secara langsung oleh rakyat.
Hal ini berbeda halnya dengan masa orde lama dan orde baru, pemimpin kepala negara dan pemimpin daerah dipilih oleh wakil rakyat (DPR/DPRD yang notabene ialah utusan partai politik.
Sayangnya, dalam prakteknya, pemilu ini hanya menjadi alat kekuasaan untuk mengambil suara terbanyak belaka, sehingga negara ini hanya sibuk mengurusi pemilu yang diadakan setiap lima tahun sekali dan melupakan esensi dari demokrasi.
Untuk itu, kini saatnya mengembalikan kedaulatan rakyat sepenuhnya di tangan rakyat.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus menjelaskan prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasiseharusnya diwujudkan lewat Pemilu 2024 yang jujur dan adil (jurdil).
Namun sayangnya, harapan pemilu yang jurdil itu jauh panggang dari api.
Pasalnya, nilai-nilai elementer demokrasi telah dirusak oleh keberadaan Anwar Usman di MK.
Paman Gibran ini menjadi sumber masalah di lembaga penjaga konstitusi itu dengan sejumlah pelanggaran hukum dan etika yang dibuatnya.
Hal ini diperkuat dengan proses Persidangan Perkara MK No.90/PUU-XXI/ 2023, yang diputus tanggal 16/10/2023, kemudian melalui proses persidangan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi di MKMK dalam Perkara di MKMK No. 2/MKMK/L/ARLTP/11/2023, yang memutuskan Anwar Usman bersalah.
Meski dinyatakan bersalah, persidangan etik ipar Jokowi ini tidak dapat memulihkan marwah MK.
Kredibilitas MK sebagai penjaga konstitusi berada dititik nadir karena MKMK-pun gagal mengembalikan kepercayaan publik kepada MK.
Apalagi dalam putusannya, MKMK hanya mampu mencopot jabatan Ketua MK yang waktu itu dijabat oleh Anwar Usman.
Karena itu, untuk memulihkan kepercayaan masyarakat kepada MK, kini berada di kepala dan pundak 8 Hakim Konstitusi yang menyidangkan sengketa Pilpres 2024.
Meskipun upaya hukum ini masih berada di bawah bayang-bayang monster “Dinasti Politik” dan “Nepotisme” Jokowi yang masih bercokol di MK.
“Dan membuat MK berada dalam status tersandera, terlebih-lebih karena menjadi Tergugat di PTUN Jakarta, sehingga membuat MK belum bisa bebas dari trauma skandal Conflict Of Interest,” imbuhnya.
Oleh karena itu, TPDI dan Perekat Nusantara, merasa perlu memberikan dukungan kepada dan mengawal 8 Hakim Konstitusi dalam melaksanakan tugas dan fungsi MK, sebagai Pengawal Konstitusi dan juga sebagai Pelaku Kekuasaan Kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan dalam Perkara Perselisihan Hasil Pilpres 2024.
Petrus menerangkan perlunya dukungan moril terhadap 8 Hakim Konstitusi karena Pemilu sebagai sarana Kedaulatan Rakyat sedang dipertaruhkan melalui sengketa Pilpres di MK.
“Sehingga dengan demikian fungsi Pemilu sebagai sarana Kedaulatan Rakyat telah bergeser ke MK, sementara MK sendiri hingga sekarang belum bisa melepaskan diri dari Nepotisme Jokowi, karena di MK ada Ipar Jokowi dan Paman Gibran Rakabuming Raka, yaitu Hakim Konstitusi Anwar Usman,” pungkasnya.
Komentari tentang post ini