Secara hukum positif, Dinasti Politik dan Nepotisme merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana penjara oleh TAP MPR No. XI/MPR/1998 dan oleh UU No. 28 Tahun 1999, Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Karena itu, di dalam UU Pemilu jelas dikatakan bahwa Pemilihan Umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota DPR, DPD, DPRD dan Presiden secara Luber dan Jurdil dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
“Pemilu yang Luber dan Jurdil menjadi asas pemilu di dalam UUD 1945,” terangnya.
Namun ketika Pemilu dilaksanakan tidak Jurdil, karena Dinasti Politik dan Nepotisme memainkan peran destruktif, maka kedaulatan rakyat yang diwujudkan lewat pemilu yang seharusnya jurdil telah dikhianati, dirusak dan digeser menjadi kedaulatan “Dinasti Politik” dan “Nepotisme” lewat MK atas nama perselisihan hasil pemilu.
“Mengapa, karena di MK sudah ada Ipar dan Paman yang siap mendegradasi Kedaulatan Rakyat lewat hasil “Pemilu” dengan sengketa perselisihan hasil pemilu untuk menentukan siapa pemenangnya,” ulasnya.
Akhirnya jelas Petrus Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat bergeser ke “MK” sebagai sarana kedaulatan rakyat dalam menentukan siapa Wakil Rakyat dan siapa Presiden RI ditentukan oleh Dinasti Politik dan Nepotisme yang ada di supra struktur politik lintas lembaga tinggi negara.
“Ini menjadi ancaman serius terhadap Demokrasi dan Daulat Rakyat di negeri ini,” pungkasnya.
Komentari tentang post ini