JAKARTA -Sekitar 200 warga Jakarta, termasuk diaspora Iran, demonstrasi depan Kedutaan Iran di Menteng, menuntut kematian puluhan perempuan dan anak di Teheran dan kota-kota lainnya.
Dalam orasinya, mereka menyerukan agar kematian puluhan perempuan ini diselidiki, dengan transparan dan jujur, serta Iran hentikan aturan wajib hijab yang tidak adil.
“Kami prihatin atas nasib perempuan Iran. Mereka dapat perlakuan tak adil, tindak kekerasan, bahkan pembunuhan, semata-mata karena memilih busana yang diatur negara. Mereka memperjuangkan hak azasi mereka sebagai manusia dan menolak aturan pemaksaan hijab,” kata Ketua dari Perkumpulan Jaga Pancasila Zamrud Katulistiwa (Galaruwa), Santiamer Haloho.
Mahsa “Jina” Amini, seorang perempuan 22 tahun, etnik Kurdistan, ditangkap pada 13 September 2022 di sebuah stasiun Teheran.
Dia ditangkap ketika turun dari kereta api saat datang dari kota Saqqez, bersama saudaranya.
Jina ditangkap “polisi moralitas” dengan tuduhan tidak memakai hijab sesuai aturan.
Saudaranya minta agar Jina tak ditangkap karena mereka tak tahu kota Teheran.
Namun polisi berdalih hanya akan ditahan beberapa jam buat “diberi nasehat” soal pemakaian hijab.
Namun rekaman CCTV di kantor polisi merekam Jina jatuh dan pingsan ketika menunggu panggilan pemeriksaan.
Jina dibawa ke rumah sakit dalam keadaan koma serta meninggal pada 16 September 2022.
Pemerintah Iran mengatakan Jina meninggal karena “serangan jantung.”
Namun seorang sepupu Jina, yang bicara dengan beberapa perempuan, yang ditangkap bersama Jina, mengatakan dia dipukuli ketika berada dalam mobil tahanan.
Rumah sakit Kasra, yang merawat Jina dalam Intensive Care Unit, mengatakan lewat Instagram bahwa Jina sudah “gegar otak” dan koma ketika dimasukkan perawatan.
Kemarahan publik atas kematian Amini memicu unjuk rasa di lebih 90 kota di Iran selama tiga pekan terakhir.
#IranProtest libatkan ratusan ribu orang, lelaki maupun perempuan, dengan slogan, “Perempuan, Kehidupan, dan Kemerdekaan.”
Ratusan perempuan Iran membakar hijab mereka sebagai protes atas aturan wajib jilbab, yang dijadikan hukum pidana di Iran sejak 1983.
Hashtag mereka adalah #HairforFreedom.
Berbagai protes tersebut dihadapi dengan operasi keamanan, yang berujung kerusuhan hingga memicu kematian setidaknya 185 orang per hari ini, serta penangkapan ribuan orang, termasuk setidaknya 28 wartawan.
Mereka termasuk Niloofar Hamedi, wartawan pertama yang datang ke rumah sakit Kasra, memotret orangtua Jina, serta memberitakannya.
Hamedi ditangkap petugas intel Iran pada 22 September 2022.
“Kami mendesak pemerintah Republik Islam Iran untuk lakukan investigasi ulang, yang independen, dengan metode transparan dan jujur, guna mencari duduk perkara kematian Mahsa Amini,” kata Haloho.
Aksi damai depan Kedutaan Iran di Jakarta ini didukung beberapa organisasi, termasuk Galaruwa, Indonesia Bangkit/Tiga Pilar, Forum Betawi Bersatu, Gerakan Rakyat Peduli Bangsa, Forum Dai Nusantara, Laskar Masyarakat Adat Dayak Nasional dari Kalimantan, serta diaspora Iran maupun suku Hazara dari Afghanistan di Indonesia.
Ririn Sefsani, koordinator lapangan aksi, minta pemerintah Indonesia untuk bersuara dan mendesak Iran hentikan segala bentuk kekerasan –penangkapan, pemukulan, penembakan– rakyatnya sendiri yang sedang memperjuangkan hak asasi.
Indonesia seharusnya memberikan contoh bahwa perempuan diberi hak dalam memilih busana.
Iran juga seharusnya menghormati hak anak dan perempuan tersebut, bukan justru merampasnya atas nama agama.
“Ia adalah langkah awal yang akan mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan di Iran. Hijab adalah pilihan, ia optional, bukan mandatory, bila Iran mau bersikap adil dan bersiap menjadi negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia,” kata Ririn.
Sejak 1983, negara Iran memasukkan berbagai pasal wajib hijab dalam sistem hukum mereka, buat perempuan sejak umur tujuh tahun.
Hukumannya, dari sekedar “dinasehati” sampai penjara 1.5 tahun buat pelanggaran soal hijab. Perempuan juga tak bisa sekolah, bekerja atau masuk ke kantor pemerintahan tanpa hijab.
Ada beberapa perempuan dihukum lebih lama dengan pasal berlapis.
Pada 2019, Nasrin Sotoudeh, seorang pengacara Iran, yang membela para perempuan yang protes wajib hijab, dihukum penjara 38 tahun dengan pasal berlapis.
Para demonstran di depan Kedutaan Iran juga menuntut pemerintah Iran segera membebaskan semua wartawan maupun demonstran damai yang kini ditahan di puluhan kota Iran.
Andreas Harsono, seorang wartawan dan salah seorang pendiri Aliansi Jurnalis Independen, mengatakan, “Iran seyogyanya bebaskan Niloofar Hamedi dan wartawan lain. Wartawan di Indonesia selalu protes Iran selama Hamedi dan lainnya masih ditahan. Negara manapun, termasuk Iran, akan sulit berkembang bila kebebasan pers dibungkam dan wartawan dipenjara.”
Meidiana Fauzia Datuk dari Forum Betawi Bersatu mengatakan aksi damai ini adalah solidaritas buat rakyat Iran, perempuan dan anak-anak, bukan semata masalah hijab, tapi hakikat kemanusiaan, yang menentang segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Ia juga ajakan kepada warga Indonesia, dan dunia, bersatu mendukung perjuangan rakyat Iran mewujudkan negara Iran yang demokratis, negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
“Pecahnya aksi demontrasi di seluruh penjuru Iran, semestinya menjadi alarm untuk rezim Iran untuk berhenti mempertahankan pemerintahan yang otoriter,” katanya.