DENPASAR – Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati menegaskan pariwisata budaya yang sudah mendarah daging bagi masyarakat Bali jangan diganggu dengan embel-embel wisata ramah muslim.
Pasalnya, pemerintah dan masyarakat Bali telah sepakat menetapkan bahwa pariwisata yang dikembangkan di Bali adalah pariwisata budaya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali nomor 2 tahun 2012 tentang Kepariwistaan Budaya Bali.
Penegasan ini disampaikan Wakil Gubernur Bali menanggapi pernyataan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Wishnutama Kusubandio yang akan menjadikan Bali sebagai pariwisata ramah muslim.
Menurut Cok Ace, kepariwisataan Budaya Bali adalah kepariwisataan Bali yang berlandaskan kepada kebudayaan Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana. Hal ini sebagai potensi utama dengan menggunakan kepariwisataan sebagai wahana aktualisasinya.
Sehingga terwujud hubungan timbal-balik yang dinamis antara kepariwisataan dan kebudayaan yang membuat keduanya berkembang secara sinergis, harmonis dan berkelanjutan untuk dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, kelestarian budaya dan lingkungan.
“Bali tetap menerapkan pariwisata berbasiskan budaya dengan kearifan lokalnya yang bernafaskan Agama Hindu, pengembangan pariwisata berbasis kearifan lokal dengan mengedepankan filosofi “Tri Hita Karana” atau tiga hubungan keseimbangan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan,” ujarnya, Senin (11/11).
Perkembangan Pariwisata Bali dari tahun ke tahun, jelas Cok Ace, sangat dipengaruhi oleh faktor keragaman budaya yang dimiliki oleh masyarakat Bali.
Karena itu sangat tepat kiranya jika pariwisata Bali disebut sebagai pariwisata yang berbasis budaya atau sering di sebut Pariwisata Budaya Bali.
“Adat, seni, dan budaya Bali sebagai potensi dasar yang dominan di dalamnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik antara pariwisata dan kebudayaan,” ujarnya.
Komentari tentang post ini