JAKARTA-Praktisi hukum Gabriel Mahal menegaskan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman berada di pusat pusaran masalah serius Putusan MK dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Jika mencermati Putusan MK yang kontroversial itu, paman Gibran ini tidak hanya patut diduga melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim, tetapi patut diduga telah melakukan pelanggaran hukum yang serius.
“Pelanggaran oleh hakim atas “rule against bias” ini tidak hanya merupakan suatu pelanggaran kode etik dan perilaku hakim, tetapi menimbulkan akibat hukum yang serius, yakni putusan dinyatakan tidak sah, hakim yang melakukan pelanggaran dikenakan sanksi administratif atau dipidana,” ujar Gabriel di Jakarta, Selasa (31/10).
Sebelumnya, Enam belas Guru Besar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi melaporkan Ketua MK Anwar Usman ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim.
Bahkan didesak agar Ketua MK Anwar Usman diberhentikan dengan tidak hormat alias dipecat.
Gabriel lalu membongkar, dugaan pelanggaran hukum yang dibuat Ipar Jokowi ini.
Pertama adalah pelanggaran UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Hakim MK tunduk pada UU No. 48 Tahun 2009 yang juga mengatur tentang Hakim MK.
Pasal 17 ayat (4) UU Kehakiman menetapkan, “Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat”.
Pasal 17 ayat (5) UU Kehakiman No. 48 Tahun 2009 juga menetapkan, seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
Dalam dua ketentuan ini digunakan kata “wajib” yang dalam struktur norma merupakan operator norma (modus van behoren, legal modality, deontic operator, the function of a norm) yang menentukan karakter normatif suatu berupa suatu kewajiban/keharusan.
Dia menegaskan, merupakan keharusan bagi ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera untuk melaksanakan ketentuan ini.
“Sejatinya ketentuan-ketentuan dalam Pasal 17 UU Kehakiman ini adalah norma etik dan perilaku hakim yang telah dijadikan norma hukum,” imbuhnya.
Norma ini mengandung asas hukum yang juga disebut sebagai doktrin hukum “nemo judex in causa sua” (Doctrine of nemo judex in causa sua).
Asas hukum yang sama maknanya, “neminem sibi esse iudicem vel ius sibi dicere debere” (tidak ada seorang pun yang memutuskan perkaranya sendiri atau menafsirkan hukum untuk dirinya sendiri).
Sama juga asas hukum “iniquum est aliquem suae rei iudicem fieri” (tidaklah adil bagi seseorang jadi hakim untuk masalahnya sendiri).