Tetapi, setelah Gibran menjadi Cawapres, elektabilitas Prabowo-Gibran didongkrak terus oleh para lembaga survei, hingga tembus 40 persen pada survei November – Desember 2023.
Adapun menurut survei Litbang Kompas periode 29 November – 4 Desember 2023, elektabilitas Prabowo-Gibran masih di bawah 40 persen: hanya 39,3 persen saja.
Elektabilitas Prabowo-Gibran kemudian mulai diforsir (dipaksa) mencapai 50 persen lebih sejak akhir Januari, atau hanya dua atau tiga minggu menjelang hari pencoblosan 14 Februari 2024.
https://nasional.kompas.com/read/2024/02/09/10432121/survei-indikator-elektabilitas-prabowo-gibran-518-persen-anies-muhaimin-241
Rangkaian peristiwa di atas merupakan langkah dasar dan perencanaan awal pelanggaran terstruktur dan sistematis.
Pertama, memaksa Gibran memenuhi kualifikasi menjadi cawapres: dengan melanggar UU dan Konstitusi.
Kedua, memuluskan pencalonan cawapres Gibran: dengan melanggar UU Pemilu dan Peraturan KPU.
Ketiga, dukungan Presiden Joko Widodo untuk memenangi Pilpres satu putaran, dengan memanipulasi survei dan mendongkrak elektabilitas.
Untuk mewujudkan rencana terstruktur dan sistematis Pilpres satu putaran maka diperlukan alat atau media pelanggaran (baca: kecurangan).
Setidaknya ada dua media kecurangan yang harus dijalankan oleh Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu, dibantu aparat penguasa.
Hal ini akan dibahas di tulisan berikutnya: bersambung ke bagian 2.
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) di Jakarta