Rachmi juga menambahkan solusi dari pasal 20 UU paten bukan dihapus begitu saja. Karena penghapusan pasal 20 UU Paten akan membuat pasal-pasal yang dibawahnya juga menjadi mandul.
Misalnya terkait dengan pasal 82 tentang lisensi wajib, dan pasal 109 tentang penghapusan paten seperti yang diatur dalam UU Paten No.13 Tahun 2016.
“Justru, ditengah pandemic covid-19 masyarakat Indonesia membutuhkan pasal 20 UU Paten ini untuk dapat membuka akses seluas-luasnya obat dan alat medis yang dibutuhkan dalam penanganan Covid-19. Jangan karena lobi pemerintah negara-negara besar seperti Jepang, AS, dan Uni Eropa, Swiss serta perusahaan farmasi besar seperti Roche, Novartis, GSK, dan sebagainya tidak suka dengan pasal itu, lantas pemerintah begitu saja menghapuskan pasal tersebut. Lalu bagaimana dengan kepentingan rakyat? Pengaturan tentang paten seharusnya seimbang antara kewajiban pemegang paten dan pemenuhan hak public. Pengaturan pasal 110 Omnibus law, memperlihatkan pemerintah berpihak pada kepentingan korporasi dengan memperkuat dan mempanjang monopoli obat”, tegas Rachmi.