Seharusnya Sirekap dapat mempermudah rekapitulasi jumlah suara sah dan jika ada data yang berbeda atau salah maka akan muncul notifikasi.
Kenyataannya yang terjadi ketika angka yang salah juga masuk atau terdata di Sirekap.
“Ini berarti data suara sah tidak bisa dipastikan karena ada yang tidak match. Jadi, saya ingin mendeklarasikan bahwa ini kecerobohan, ya ini kecerobohan dari Sirekap,” ungkap Soegianto yang juga merupakan dosen Fisika Komputasi di Fakultas Sains dan Teknologi Unair Surabaya.
Soegianto kemudian menganalisa untuk membandingkan antara data Pileg dan data Pilpres. Pertimbangannya, secara kaidah ilmiah seharusnya ada korelasi antara jumlah suara pileg dan pilpres, karena pencoblosan dilakukan oleh orang atau pemilih yang sama dan di lokasi yang sama.
Ternyata, hasil analisa menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok, yakni hasil suara untuk pileg dan pilpres berbeda antara 50% bahkan 70%, di sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar karena perbedaan yang signifikan, sehingga Soegianto berkesimpulan data dari Sirekap tidak bisa dinyatakan valid untuk direkapitulasi dan menghasilkan persentase suara untuk partai politik maupun pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden.