BANDUNG-Koalisi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan Bandung meminta Pemerintah menunda rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) sekitar Agustus 2019. Alasan, masih ada pasal-pasal yang menimbulkan kekuatiran apabila diberlakukan KUHP tersebut.
Koalisi Kemerdekaan Beragama Bandung,yang diiniasi Pusat Kajian Kebhinekaan dan Perdamaian (PKKP-Maranatha), GKP, GKI, LBH Bandung, PGIW-Jabar, Jakatarub, GMKI Bandung, PIKI Jabar dan PS GMKI.
Ketua Perkumpulan Senior GMKI Bandung, Arijon Manurung mengemukakan, Koalisi Kemerdekaan Beragama Bandung menginventarisir sejumlah Pasal yang perlu menjadi perhatian Pemerintah, di antaranya Pasal 2 RKUHP, dinilai menyimpang asas legalitas, dan akan membuka celah penerapan hukum seperti yang terlihat dalam perda-perda diskriminatif saat ini.
“Dalam pasal ini disebutkan bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat yang tidak diatur dalam KUHP menurut pasal 2 ini tetap berlaku, meskipun dikatakan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, HAM dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab, tetapi pasal karet seperti ini membuka ruang bagi tumbuhnya perda-perda diskriminatif, ” ujar Arijon dalam keterangan persnya, di Universitas Kristen Maranatha, Bandung, Jumat (19/7/2019).
Selain itu, lanjut Arijon, Pasal 250 dan 313 masih menggunakan kata “penghinaan”, padahal penghinaan bersifat subyektif.
Menurutnya, Pasal 250 meskipun semangat pasal ini baik tetapi perlu diganti dengan kata yang tidak multitafsir.
“Selain itu hukuman terhadap penghinaan oleh para ahli di dunia/PBB diarahkan kepada pertanggungjawaban perdata. Kalaupun pidana hendak mengatur penghinaan maka pemidanaannya adalah denda,”jelas Arijon.
Arijon melanjutkan, Pasal 313 terkait kata penghinaan sebaiknya diganti dengan “siar kebencian” untuk melindungi pemeluk agama dari kejahatan. Hal ini juga sesuai dengan kecenderungan internasional, sebagaimana dalam evolusi Resolusi Dewan HAM 16/18, yang menggeser “penodaan agama” menjadi “Memerangi Intoleransi”.
Dia mengatakan, resolusi ini diinisiasi oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Dewan HAM PBB pada tahun 2011, dikarenakan penggunaan istilah “penodaan agama” telah banyak memperoleh pertentangan dari berbagai negara.
Sekretaris Persekutuan Gereja-gereja di Indonenesia Wilayah (PGIW) Bandung Paulus Wijono mengatakan, pada judul bab VII menyebut Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama.
“Judul ini salah secara bahasa maupun konsep. Seharusnya agama tidak dapat menjadi subyek hukum, subyek hukum yang perlu dilindungi adalah penganut agama. Sebagai sebuah konsep, menempatkan agama sebagai subyek hukum adalah problematis, karena ia tidak dapat mewakili dirinya sendiri di proses hukum. Artinya ini mengandaikan adanya orang yang mewakili agama,”ucap Paulus.