JAKARTA–Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah menegaskan Bantuan Sosial (Bansos) adalah alat negara yang kebijakan dan penganggarannya diputuskan bersama di DPR dan pemerintah yang mewakili seluruh kekuatan politik.
Dengan demikian, tidak ada satu pihak pun yang berhak mengklaim bahwa program Bansos prakarsa atau keberhasilan kelompok tertentu.
“Bahkan bila presiden berkehendakpun, tanpa persetujuan DPR, tidak akan mungkin ada program Bansos. Sebab kebijakan dan anggarannya harus sepersetujuan DPR,” ujar Said di Jakarta, Senin (5/2).
Menurut Said, Bansos sebagai alat negara agar rakyatnya terentas dari kemiskinan, dan menjadi lebih berdaya.
“Itulah sebabnya di dalam paket Bansos beragam rupa program, selain bantuan uang tunai, beras, tetapi juga beasiswa, dan uang pra kerja, serta kartu Indonesia sehat,” ulasnya.
Ditegaskannya, orksetrasi kebijakan ini dimaksudkan agar rakyat miskin tidak semata-mata di kasih uang, dan sembako, tetapi di berikan akses atas pemerliharaan kesehatan.
Sebab dengan tubuh yang sehat mereka bisa produktif, anak-anaknya diberikan akses terhadap pendidikan.
“Dengan pendidikan yang lebih baik, kelak mereka punya kecakapan, sehingga bisa berbuat produktif, dan berpenghasilan yang lebih baik daripada orang tuanya. Hal ini adalah proses yang panjang, tidak cukup di guyur Bansos setahun lalu mereka menjadi tidak miskin semua,” urainya.
Namun demikian, politisi senior PDI Perjuangan ini mengaku sungguh sedih ketika kebijakan teknokratis yang mulia dari negara kemudian di privatisasi oleh Presiden dan sebagian menterinya, seolah-olah budi baik mereka.
“Terus terang saja, melonjaknya anggaran Bansos Rp 496,8 triliun sungguh mengkhawatirkan dari sisi penyalahgunaan. Pada saat covid19 saja, di tahun 2020 anggaran perlindungan sosial “hanya” Rp 234,33 triliun dan realisasinya Rp 216,59 triliun,” imbuhnya.
Padahal terang Said, masa covid19 ekonomi nasional nyaris berhenti, negara hanya membutuhkan belanja Bansos sebesar Rp 216, 59 triliun.