“Karena merasa lebih hebat dari partainya, maka yang bersangkutan tidak merasa harus terikat dengan aturan dan nilai-nilai, serta kegiatan yang dijalankan oleh partainya. Fonemena seperti ini terjadi hampir di semua partai. Apalagi partai-partai yang tingkat partai ID (Party Identity)-nya rendah,” ujarnya.
Watak individualisme, jelas Said Abdullah lagi, sebagai residu dari sistem proporsional terbuka ke depan harus dibenahi.
Memang undang-undang pemilu memberikan mekanisme penggantian antar waktu.
Namun penyelesaian dengan mengedepankan jalan seperti ini juga tidak memberikan win-win solution.
“Oleh sebab itu perlu ditekankan dalam undang-undang pemilu bahwa setiap caleg harus terbukti mengikuti berbagai jenjang kaderisasi kepartaian sebagai syarat pencalonan,” imbuhnya.
Sistem proporsional terbuka juga membuat ideologi, cita-cita, dan garis perjuangan partai tidak dipahami dan tidak dijalankan dengan penuh hikmat oleh anggota partai.
“Akibat lebih jauh, kita makin menyaksikan kultur pragmatisme politik dalam setiap pengambilan keputusan keputusan publik,” pungkasnya. ***