Selanjutnya adalah posisi tawar dari faksi yang mengajukan.

“Kedua adalah posisi tawar pihak yang mengajukan nama itu sendiri. Bisa jadi dari relawan, bisa jadi dari faksi-faksi tertentu dalam partai yang bersangkutan. Harapannya kan siapa pun nama yang muncul, mereka mendapatkan bagian dari kue kekuasaan yang diharapkan,” ujarnya.
Arif menilai perbedaan suara tersebut juga tidak akan berlanjut membesar hingga menjadi konflik internal.
Meski, perbedaan nama figur yang muncul itu menunjukkan adanya faksi-faksi dalam KIB yang mempunyai pilihan lain.
“Kalau misal menimbulkan riak, mungkin iya. Tapi saya kira terlalu jauh kalau riak itu sampai mengakibatkan terjadinya konflik internal. Itu agak jauh. Sampai hari ini ya,” tambahnya.
Arif menekankan langkah politk KIB akan lebih masuk akal dengan bersiap pada posisi cawapres.
“Bagi saya sejauh ini, cukup rasional untuk mengajukan satu di antara 3 nama itu, Ganjar, Anies, Prabowo. Di luar itu saya kira tipis kemungkinannya. Setidaknya langkah yang realistis adalah membidik cawapres,” pungkasnya.
Airlangga
Sementara itu, Pengamat Politik dari Citra Institute, Yusak Farchan mengatakan, hal itu karena memang belum ada sosok yang kuat di KIB.
Namun selalu ada peluang untuk Ketum Partai Golkar, Airlangga Hartarto.
“Sejak awal dibentuk, problem utama KIB kan memang tidak punya stok capres dari internal parpol pendukung koalisi yang elektabilitasnya tinggi,“ kata Yusak, Senin (5/12).
Namun jika dibandingkan dengan Ketum PPP dan PAN, Yusak mengatakan Ketum Airlangga yang paling mungkin.
“Dari jumlah suara atau kursi dan infrastruktur politik, memang Pak Airlangga yang paling layak dan berpeluang diusung dibanding ketua umum PAN dan PPP. Tetapi, munculnya nama-nama capres seperti Ganjar dan Anies semakin membuka peluang bagi KIB untuk mengusung capres dari luar,“ jelas Yusak.
Munculnya nama Ganjar dan Anies di internal PAN dan PPP ini kata dia, tentu berpengaruh pada opsi pencapresan Pak Airlangga sebagai Capres KIB.