Terkait dengan hal itu, Sandra Nangoy menegaskan, “Pemohon sudah mengajukan keberatan jika kedua komisaris itu sebagai Saksi Ahli karena jelas koq aturannya. Namun oleh Ketua Hakim Anwar Usman, keberatan dipertimbangkan dan akan dicatat. Kedua komisaris memberi keterangan setelah disumpah. Lha kalau keterangannya dicabut karena kedudukan hukum kedua komisaris sebagai Saksi Ahli diterima, apakah artinya sumpahnya juga dicabut ? Siapa yang berhak mencabut? Itu khan urusan dengan agamanya khan?”
Menurut Sandra, persoalan menjadi rumit ketika Hakim Arief Hidayat membuat pernyataan yang menganggap pemohon tidak konsisten dalam kaitannya dengan kedudukan hukum dua komisaris BUMN tersebut.
“Ini sama seperti polemik yang terjadi dalam pututsan MK Februari 2018 tentang kedudukan KPK yang bertentangan dengan empat keputusan MK sebelumnya. Hal ini juga ditegaskan Mantan Ketua MK, Mahfud MD, bahwa keputusan MK yang mengatakan KPK bagian dari Eksekutif bertentangan dengan keputusan sebelumnya. KPK sendiri mengaku kecewa dengan keputusan tak konsisten MK tersebut. Jadi siapa yang tidak konsisten sebenarnya bisa diuji. Itu khan aturan MK sendiri. Patut diduga MK tidak independen dalam hal ini,” ujar Sandra Nangoy.
Lebih jauh Sandra mempersoalkan, “Jika keterangan dua komisaris itu tidak diterima sebagai keterangan saksi ahli, yang menjadi persoalan adalah, sidang kemarin dianggap sebagai apa ? sebagai sidang atau sebagai rapat ? Lalu, sumpah yang telah diucapkan siapa yang memiliki hak untuk mencabut ? Apakah dengan demikian, rakyat perlu secara langsung memilih Hakim Konstiusi ? Kami menginginkan MK yang bermartabat, bersih dan kredibel.”
Selain Hermawi Taslim dan Sandra Nangoy, TAKEN terdiri dari Liona N Supriatna, Daniel T. Masiku, Gregorius Retas Daeng, Alvin Widanto Pratomo dan Bonifasius Falakhi. Gugatan terhadap UU BUMN tersebut didukung penuh oleh Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) dan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI)