PEKANBARU-Mewujudkan kerukunan antar umat beragama merupakan subtansi sikap Gereja Katolik yang termuat dalam Nostra Aetate, yakni dokumen independen yang dihasilkan dalam Konsili Vatikan II pada 1965. Hanya saja kerukunan itu baru dapat terwujud jika masing-masing individu menerima setiap insan pribadi manusia apa adanya karena merupakan konsekuensi logis dari prinsip bahwa semua bangsa merupakan satu komunitas dengan satu asal usul yang sama.
Demikian ditegaskan oleh Pastor Benedictus Manulang Pr, rohaniwan dari Pekanbaru kepada peserta Forum Group Discussion (FGD) yang berasal dari Forum Komunikasi Alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (FORKOMA PMKRI RIAU), di Hotel Ameera, Pekanbaru, Riau, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (23/2).
Hadir dalam acara ini antara lain, Ruslan Tarigan (anggota DPRD Pekanbaru), Rahman Silaen (Hakim Tipikor Propinsi RIAU), Japantun Situmorang (Pengusaha), para aktivis PMKRI dan Pemuda Katolik.
Pernyataan Manulang tersebut terkait dengan peringatan ke-50 tahun dikeluarkannya dokumen Nostra Aetate oleh Tahta Suci. Dokumen tersebut yang berisi tentang penegasan serrta sikap hubungan antara Gereja Katolik dan NonKristiani. Nostra Aetate yang ditandatangani oleh Paus Paulus VI itu juga menandai keterbukaan Gereja Katolik dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama. “Kerukunan hanya bisa dicapai jika setiap individu adalah sama dan merupakan komunitas yang satu yakni bangsa dunia dan yang memiliki satu asal usul yang sama. Oleh karena itu, pada hakekatnya Nostra Aetate tidak hanya sekedar memandang positif hubungan Gereja Katolik dengan agama non kristiani, tapi lebih dari itu. Dengan dokumen itu, Gereja menerima setiap pribadi insan manusia apa adanya sebagai konsekuensi logis dari prinsip bahwa semua bangsa merupakan satu komunitas,” ujar Pastor Manulang.