Menurut Dody, BI akan relatif menggunakan “pedal gas” untuk kebijakan makroprudensial dimana bank sentral akan merelaksasi beberapa kebijakan untuk mendorong sektor riil melalui penyaluran kredit perbankan.
Salah satu kebijakan makroprudensial yang akomodatif tersebut yaitu dengan pelonggaran parameter likuiditas Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM).
“Kita berikan room pada perbankan sekarang untuk kembali lebih “lending” tapi artinya lending itu harus memperhatikan prudensial dr perbankan, CAR-nya seperti apa, NPL-nya seperti apa. Jadi itu yang dijaga untuk memberikan room kepada perbankan untuk lending,” ujarnya.
Ketentuan RIM bagi perbankan kini telah dilonggarkan dengan menambah sumber pendanaan perbankan yakni pinjaman tenor di atas satu tahun, selain Dana Pihak Ketiga (DPK) dan Surat-Surat Berharga.
BI mengatur besaran RIM perbankan saat ini adalah batas bawah 84 persen hingga batas atas 94 persen. Dengan begitu, bank-bank yang memiliki besaran RIM nyaris mendekati batas atas 94 persen karena terlalu ekspansif menyalurkan kredit dapat bernafas lebih lega.
Pasalnya, pinjaman perbankan seperti pinjaman bilateral dan juga sindikasi dengan sisa jangka waktu lebih dari satu tahun akan dihitung sebagai penyebut dalam ketentuan RIM.
Dengan memasukkan tambahan sumber pembiayaan, diharapkan menambah kapasitas bank untuk kredit.
Saat ini RIM perbankan di Indonesia sebesar 93,14 persen.
Dengan penambahan unsur pendanaan ini, maka RIM diproyeksikan akan turun menjadi 91,11 persen.
Namun, BI juga mencatat beberapa perbankan yang tidak menjalankan fungsi intermediasi dengan baik.
Pasalnya bank itu memiliki pendanaan yang memadai, namun malas dalam menyalurkan kredit.
Hal itu tercermin dari RIM yang berada di batas bawah 84 persen.
BI dapat menghukum bank-bank tersebut dengan pinalti giro.
Bank yang dikenakan disinsentif itu adalah bank yang memiliki rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) antara 14 persen-19 persen dan juga yang memiliki CAR di atas 19 persen, namun mencatatkan RIM di bawah 84 persen. ***