“Hanya saja tidak sebebas-bebasnya HAM dan demokrasi di Barat. Sebab, demokrasi itu justru tak akan berjalan tanpa adanya ketertiban masyarakat. Bahwa setiap UU itu harus menciptakan ketertiban, kalau tidak berarti gagal,” ujarnya.
Menurut Taufiq, DPR tak mungkin mengekang kebebesan pers. Demikian pula dengan pasal penghinaan presiden pada Pasal 281 KUHP tetap mempertimbangkan faktor-faktor demokrasi dalam konteks Indonesia.
Sementara itu, Abdul Fickar Hajar menegaskan khusus terkait pers sebaiknya diselesaikan melalui UU Pokok Pers. “Kalau tidak, maka RUKHP ini akan menjadi kumpulan hukum pidana secara menyeluruh,” katanya.
Soal COC (Contempt of court- penghinaan pada peradilan) menurut Abdul Fickar, yang dilarang itu penyiaran langsungnya karena khawatir mempengaruhi saksi-saksi yang lain. Tapi, siaran itu masih bisa dilakukan secara tunda.
Sementara itu, jabatan presiden memang harus dikritisi. Apalagi terkait kebijakan yang dibuat.
“Kecuali kalau pribadi – personalnya, itu tak boleh, meski berdasarkan delik aduan. Tapi, mungkin perlu pemberatan hukum karena terkait kepala negara,” pungkasnya.