Uchok lalu menjelaskan modus atau cara agar memperoleh keuntungan secara pribadi, dan merugikan anggaran daerah. Misalnya, dalam penyusun HPS, selalu menambahkan keuntungan dalam Harga Perkiraan Sementara (HPS) sebesar 15% dari harga jual. Padahal harga jual yang tercantum dalam rincian barang adalah harga jual kepada konsumen/pembeli. Harga jual tersebut seharusnya telah termasuk keuntungan. Tetapi demi diduga untuk mencari keuntungan, mereka selalu menambahkan 15% sehingga pengadaan ini tidak akan mendapat harga terbaik, tetapi harga mahal dan kualitas barang bisa-bisa dibawah kualitas.
Bahkan dia menemukan 13 item penyusunan HPS yang tidak wajar karena adanya penambahaan 15%. “Dari 13 total pekerjaan pengadaan alkes Provinsi Banten tersebut, diperoleh total sebesar: – Rp123.012.537.600 (Perhitungan Tim Penyusunan Sementara) – Rp106.968.064.496 (HPS sementara) atau selisih Rp16.044.473.104,” urainya.
Selain itu kata dia, pengadaan Alkes di Dinas Kesehatan Propinsi Banten tidak sesuai ketentuan sebesar Rp30.257.444.000. Bahkan pengadaan alat kesehatan sebesar Rp.30.2 miliar diduga manupulasi. Modusnya, alat kesehatan yang masih dikemas tersebut tidak disertai dengan buku manual kartu garansi, dan certificate of origin yang seharusnya menjadi kesatuan dalam produk yang dipesan dan telah dijamin oleh perusahaan pendukung penyedia alat kesehatan.