Oleh: MH Said Abdullah
Tata niaga di industri nikel harus segera dibenahi pemerintah menyusul kebijakan pelarangan ekspor nikel per Oktober, 2019.
Kebijakan pelarangan ekspor nikel adalah kebijakan visioner untuk membangun industri pertambangan kita agar meninggalkan pola pembangunan ekstraktif (hanya gali) menuju pembangunan berbasis nilai tambah dengan cara membangun pabrik pembangun smelter.
Di nikel, perusahaan-perusahaan nikel bisa membangun pabrik Nickel Pig Iron (NPI) atau Nickle mate yang nilai tambahnya cukup besar.
Hal ini berkontribusi sangat signifikan terhadap penerimaan negara.
Kebijakan hilirisasi mineral dan pelarangan ekspor menjadi berkah pada perusahaan-perusahaan besar yang sudah membangun smelter nikel.
Namun jumlah mereka sangat terbatas. Sampai sekarang ini, baru 14 pabrik nikel yang sudah mulai operasi komersial, sementara sekitar belasan sisanya masih dalam proses konstruksi.
Mayoritas pabrik nikel yang sudah beroperasi ini hampir 80 persen adalah korporasi nikel dari Cina yang memiliki kemampuan finansial cukup untuk membangun pabrik smelter nikel.
Sementara perusahaan domestik yang baru membangun pabrik nikel masih kecil karena ketaksanggupan finansial. Kebanyakan pabrik-pabrik nikel ini juga tersebar mulai dari Morowali, Kanowe (Sulawesi Tengah), Beton, Kolaka (Sulawesi Tenggara) sampai Halmahera, Maluku”.
Perusahaan-perusahaan asal Tiongkok ini seperti Tsingshan Group (Cina) sudah mengeluarkan dana investasi senilai US$4.5 miliar untuk pembangunan smelter nikel di Morowali Industrial Park (MIP).
PT Sulawesi Mining Investments (SMI), JV antara Tshingsha dan Bitang8 Group, mulai mengoperasikan 300.000 ton per tahun pabrik feronickel di Morowali Industrial Park, Sulawesi Tengah.
Masih di Morowali ada juga smelter Cina Guang Ching Nickle dan Stainless Steel Industry dengan dana investasi US$1 miliar untuk membangun smelter di Morowali.
Tak heran jika kemudian perusahaan-perusahaan Cina ini kerap melakukan monopoli.
Komentari tentang post ini