JAKARTA-Omnibus Law “melucuti” empat Undang-Undang (UU) penting sektor pangan.
Keempat UU itu yaitu UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, UU No. 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura.
Hal ini sebagai jawaban atas Putusan World Trade Organization (WTO) akibat kekalahan Indonesia dari gugatan Amerika Serikat, Selandia Baru dan Brazil terkait kebijakan impor pangan.
Amerika Serikat, Selandia Baru dan Brazil menganggap keempat UU tersebut menghambat produk ekspor mereka ke Indonesia.
Aturan impor di Indonesia masih dibatasi pada saat panen raya dan saat kebutuhan pangan dalam negeri masih terpenuhi oleh produksi dan cadangan pangan nasional.
Bagi negara-negara tersebut hal ini dianggap bertentangan dengan ketentuan WTO yang mengharuskan Indonesia lebih longgar terhadap kebijakan impor pangannya.
Melalui panel Dispute Settelment Body (DSB) WTO negara-negara tersebut menuntut agar Indonesia menghapus frasa “dalam negeri” pada sejumlah pasal di keempat materi UU tersebut.
Padahal frasa tersebut merujuk dan bertujuan melindungi kepentingan ekonomi nasional yang tak lain merupakan pelaksanaan mandat konstitusi.
Demikian konferensi pers bersama Bina Desa Sadajiwa, Indonesia for Global Justice (IGJ), Aliansi Petani Indonesia (API), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), FIAN Indonesia, Jaringan Komunitas Swabina Pedesaan (JKSP), Jaringan Perempuan Pedesaan Nusantara (JPP Nusantara), Kamis (12/3).
Ketua Pengurus Bina Desa, Dwi Astuti mengatakan pembangunan pertanian-pangan yang bertumpu pada kekuatan investasi asing dan impor akan memperburuk kondisi kemiskinan pada masyarakat yang sudah miskin, kelaparan, kurang gizi serta berbagai persoalan lain yang berhubungan dengan pangan yang pada umumnya diderita oleh perempuan dan anak.
“Selain akses dan kontrol perempuan dihilangkan, kelembagaan perempuan serta pengalaman yang beragam, baik pribadi maupun bersama dengan perempuan lainnya dalam mengelola keanekaragaman hayati dan kekayaan alam, juga ikut dilucuti,” ujarnya.
Revisi atas keempat UU tersebut sebagaimana dalam Omnibus Law (RUU Cipta Kerja) terbukti akan melonggarkan aturan impor pangan.
Dalam UU Pangan, pada pasal 1 nomor 7 tentang definisi Ketersediaan Pangan, secara tegas menyebut adanya syarat dan kondisi bagi impor, yakni dapat dilakukan apabila pangan dari hasil Produksi Dalam Negeri dan Cadangan Pangan Nasional tidak mencukupi.
Sementara dalam Omnibus Law syarat dan kondisi tersebut dihilangkan.
Sehingga kedudukan pangan hasil impor menjadi sederajat dengan pangan hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional.
Selain definisi seluruh pasal terkait yakni pasal 14, 15, 36, 39 dan seterusnya, yang secara substansi semuanya menganulir semangat perlindungan dan pengutamaan produksi dalam negeri.
Komentari tentang post ini